By: Eka Puteri Ramadhanti
Dalam era digital saat ini, perkembangan teknologi dan popularitas media sosial telah membuka pintu bagi penyebaran informasi dengan cepat. Namun, dampak negatif dari kemajuan ini juga dapat terlihat dalam bentuk pelecehan seksual yang merajalela di platform-platform tersebut. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi upaya hukum yang ada dalam memerangi pelecehan seksual dan penyebaran video di media sosial. Mari kita hadapi bersama masalah serius ini dan mempelajari langkah-langkah hukum yang sedang diambil untuk melindungi korban dan menghukum pelaku.
Baru-baru ini kembali viral video di media sosial yang diperkirakan adalah salah satu artis tanah air tengah melakukan kegiatan asusila. Memang pada nyatanya di Indonesia sendiri bukan pertama kalinya peristiwa serupa terjadi, sebelumnya banyak dari dunia entertainment maupun masyarakat biasa yang mengalami hal tersebut. Hal ini dibuktikan dengan laporan Komnas Perempuan, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan LBH Apik yang menerima banyak aduan terkait bentuk pelecehan tersebut atau bisa dikatakan tindak kekerasan berbasis gender online (KBGO) di media social. Dalam laporannya, Komnas Perempuan menunjukkan pada tahun 2021 ada 1.721 kasus, lalu SAFEnet melaporkan ada 677 kasus dan LBH Apik ada 489 kasus. Tentunya kasus ini berpotensi terus bertambah.
Salah satu aspek penting dalam menangani penyebaran video pelecehan seksual di media sosial adalah pertanggungjawaban hukum bagi platform-platform tersebut. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah korban mengadukan pelaku melalui laman aduan konten dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Korban harus mendaftarkan diri sebagai pelapor terlebih dahulu dan mengisi beberapa kolom isian. Aduan dikirim meliputi URL/link, screenshot tampilan serta alasannya. Semua laporan yang masuk dan memenuhi syarat (terdapat link/URL, screenshot dan alasannya) akan diproses/ditindaklanjuti.
Selain itu, korban juga dapat melaporkan kejadian tersebut kepada penyidik cyber crime POLRI atau melaporkan langsung ke penyidik pada Sub Direktorat Penyidikan Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika. Korban akan diminta membuat laporan kejadian disertai dengan bukti awal. Jika bukti awal dirasa telah cukup, maka penyidik akan meneruskannya pada tahap penyidikan. Kerahasiaan identitas korban, jika diminta, sesuai kode etik penyidikan akan dijamin oleh instansi penyidik bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 66 – 68 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan hak bagi korban kekerasan gender berbasis online untuk mendapatkan perawatan medis dan psikososial yang dibutuhkan setelah kejadian tersebut. Hak ini termasuk pengobatan, konseling, dan pemulihan fisik dan psikologis serta hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik.
Adapun bagi pelaku tindak KGBO yang melakukan penyebaran video asusila mendapatkan ancaman pidana berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 milyar.
Melihat potensi kasus serupa masih marak terjadi, hal ini menjadi tantangan untuk kita bersama dalam memerangi kasus ini. Baik tantangan bagi korban yang masih banyak memilih untuk tidak melaporkan hal tersebut melihat masih minimnya pemahaman mengenai privasi, persetujuan, kekerasan berbasis gender, serta akses layanan bantuan korban yang masih terbatas. Maupun pada kurangnya keberpihakan dan sensitivitas gender dari aparat penegak hukum.