By: Eka Puteri Ramadhanti

Orang dengan gangguan jiwa sering kali menjadi korban kekerasan seksual, baik di rumah, tempat kerja, maupun di tempat umum. Mereka cenderung lebih rentan terhadap kekerasan seksual karena kerentanan mereka yang berbeda dalam memahami situasi atau perilaku yang tidak pantas. Namun, seringkali mereka tidak mendapatkan perlindungan yang memadai karena stigma yang masih melekat pada orang dengan gangguan jiwa, dan kurangnya pengetahuan tentang hak mereka di masyarakat maupun di kalangan tenaga medis.

Pada bulan Januari 2022, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang menetapkan pidana bagi pelaku kekerasan seksual, termasuk dalam kasus kekerasan seksual terhadap orang dengan gangguan jiwa. Undang-Undang ini merupakan upaya pemerintah Indonesia dalam melindungi hak dan kesejahteraan orang dengan gangguan jiwa yang menjadi korban kekerasan seksual.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi orang dengan gangguan jiwa yang menjadi korban kekerasan seksual. Pasal 6 huruf a dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya akan dikenakan hukuman penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp50 juta . Selain itu, pasal 66 memberikan hak bagi korban kekerasan seksual, termasuk orang dengan gangguan jiwa, untuk mendapatkan perawatan medis dan psikososial yang dibutuhkan setelah kejadian tersebut. Hak ini termasuk pengobatan, konseling, dan pemulihan fisik dan psikologis.

Namun, meskipun Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi orang dengan gangguan jiwa yang menjadi korban kekerasan seksual, masih banyak tantangan yang dihadapi dalam memberikan perlindungan yang memadai bagi korban. Misalnya, kesulitan dalam mengidentifikasi kasus kekerasan seksual pada orang dengan gangguan jiwa karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang situasi tersebut. Selain itu, stigma yang masih melekat pada orang dengan gangguan jiwa seringkali menghambat mereka untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya, atau membuat mereka tidak dipercaya oleh masyarakat atau penegak hukum.

Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih kuat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang hak dan kebutuhan orang dengan gangguan jiwa yang menjadi korban kekerasan seksual. Selain itu, perlu juga dilakukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga medis dalam mengidentifikasi dan memberikan perlindungan yang memadai bagi orang dengan gangguan jiwa yang menjadi korban kekerasan seksual.

Di samping itu, pemerintah Indonesia juga harus melakukan kampanye yang lebih aktif untuk menghilangkan stigma yang masih melekat pada orang dengan gangguan jiwa.